Di Indonesia, sepak bola sekarang seolah-olah seperti permainan tradisional yang telah mendarah daging pada rakyat Indonesia. Sekat antar supporter klub lokal (daerah) pun dikesampingkan rivalitasnya ketika mereka antri masuk stadion utama Bung Karno. Jauh – jauh hari mereka (supporter) menyatakan ‘gencatan senjata’ apabila timnas Indonesia berlaga, bersatu dengan atribut yang sama dan yel-yel yang sama, merah putih dan Garuda di dadaku. Kita semua tengah haus akan prestasi Timnas Indonesia, sehingga jalan apapun yang bisa ditempuh untuk mendorong timnas agar berprestasi akan didukung termasuk naturalisasi pemain keturunan. Rayat Indonesia secara psikologis menganggap hampir semua ‘produk’ asing lebih baik dari ‘produk’ lokal. Dan mereka akan bangga karena bisa ‘membeli’ atau sekedar ‘memakai.’
Mungkin sudah satu dekade ini timnas Indonesia belum ada prestasi yang membanggakan selain juara Piala Kemerdekaan (itu pun diwarnai walk out). Wacana untuk menaturalisasi pemain sepak bola keturunan pun menjadi ide terobosan yang fantastis, Utopis kah?
Namun pertanyaannya, apa urgensi untuk menerapkan ide itu? (baca: naturalisasi). Ide naturalisasi pun menjadi kontroversi di kalangan pecinta sepak bola Indonesia. Namun ditengah ide fantastis ini, ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dikaji lebih dalam. Naturalisasi bukan masalah setuju atau tidak setuju, namun apakah bermanfaat?"
1. Nasionalisme. Meskipun mereka mempunyai darah Indonesia, apakah lantas ‘level’ nasionalisme mereka dapat disetarakan dengan pemain asli Indonesia? Mengenakan seragam ‘merah – putih’ adalah impian setiap pesepakbola lokal dan mereka bangga dan akan siap berkorban di lapangan demi membela ‘merah – putih.’ Kita akan khawatir bila mereka (para pemain naturalisasi) bermain akan menganggap seragam ‘merah – putih’ adalah seragam ‘klub’ bukan ‘simbol bangsa’ sebagai representasi harapan 230 juta rakyat Indonesia.
2. Nilai kontrak, gaji dan fasilitas. Berapa biaya yang harus dikeluarkan BTN untuk mengontrak dan menggaji pemain naturalisasi? Mereka (naturalisasi) tentunya akan meminta nilai kontrak yang tinggi dan fasilitas yang lebih daripada pemain lokal. Hal ini memungkinkan terjadinya kesenjangan fasilitas antara pemain lokal dan pemain naturalisasi. Bagaimana perasaan pemain lokal jika diperlakukan seperti itu? Ini tentu memperburuk kekompakan tim. Tentu saja kita tidak menginginkan ‘masalah’ tersebut berlanjut di lapangan
3. Kompetisi dan pembinaan usia dini. Mungkin sebagian besar dana BTN atau PSSI banyak digelontorkan untuk mengontrak pelatih asing. Apabila agenda naturalisasi ini terjadi, maka ‘budget’ kompetisi dan pembinaan dini akan kian tergerus. Mengapa tidak digunakan untuk proyek kompetisi liga usia remaja dan pembinaan usia dini? Ini lebih bermanfaat dari pada proyek ‘instan’ prestasi timnas.
Kesimpulannya adalah, jika kita bercermin pada timnas Singapura atau bahkan Filipina yang banyak pemain naturalisasinya, lantas apakah kita bangga prestasi yang dicapai berkat pemain ‘bayaran’ yang notabene bukan pemain asli Indonesia. Kemudian, apa urgensi dari naturalisasi pemain keturunan?, Apakah untuk memuaskan dahaga prestasi?. Setelah berprestasi apakah akan tetap dilanjutkan program tersebut? perlu adanya kombinasi yang kuat untuk mengkolaborasikan antara pemain lokal dan naturalisasi. Persamaan tujuan untuk mengangkat prestasi timnas dan didukung rasa nasionalisme serta ‘sense of crisis - sense of belonging’ yang kuat.
Akan lebih membanggakan timnas Indonesia kalah terhormat daripada menang dengan ‘bantuan’. Bukankan itu yang kita dengang-dengungkan selama ini?"
Sekali lagi tulisan ini bukan untuk memperuncing kontroversi setuju atau tidak setuju melainkan untuk mencari sebuah solusi yang terbaik bagi perkembangan sepak bola Indonesia.
Posting Komentar
Ketik komentar anda (No rasis, No Anarkis)