Miris
memang melihat kembali dunia persepakbolaan Indonesia. Ditengah gairah
dukungan besar masyarakat terhadap cabang paling popular di dunia ini,
intrik dan kepentingan pribadi dan politik terus bermain dan menyebabkan
adanya korban untuk para pemain yang sudah lama menanganggur ini.
Adanya
ketentuan baru bahwa Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI)
melarang para pemain yang mengikuti Liga Super Indonesia (ISL) masuk ke
timnas. Membuat nama-nama Timnas U23 yang sedang bersinar seperti Titus
Bonai ataupun Patrich Wanggai terancam tidak masuk. Karena hanya pemain
yang berlaga di Indonesian Premier League (IPL) saja yang dapat
dipanggil ke timnas.
PSSI
memang hanya mengakui Indonesian Premier League sebagai kompetisi yang
resmi dan tidak mengakui Indonesia Super League. Hal ini terkait tidak
satunya suara soal statuta dan hasil kongres di Bali. "Harus dari IPL,
sudah aturannya begitu. Karena pemain timnas itu harus dari kompetisi
resmi yang disetujui PSSI, bukan dari ISL," kata penanggung jawab timnas
Bernhard Limbong, Kamis, (24/11).
Tentu
ini akan membuat skuad Garuda Muda gagal masuk timnas karena mereka
bermain di Liga Super Indonesia. Para pemain yang berlaga di Indonesia
Super League antara lain Titus Bonai (Persipura), Patrich Wanggai
(Persidafon), Lucas Mandowen (Persipura), Diego Michiels (Pelita Jaya),
Hasyim Kipuw (Pelita Jaya), Ramdhani Lestaluhu (Pelita Jaya), dan Egi
Melgiansyah (Pelita Jaya).
Sedangkan
pemain yang dapat masuk timnas karena mereka bermain di klub yang
berlaga di Indonesia Premier League adalah Andik Vermansyah (Persebaya),
Ferdinan Sinaga (Semen Padang), dan Kurnia Meiga (Arema).
Limbong
pun mengatakan tak masalah jika timnas nanti akan kehilangan para
pemain hebat seperti Patrich Wanggai dan Titus Bonai karena ada
ketentuan yang harus dipatuhi. Para pemain tersebut, kata Limbong, hanya
menjadi korban dari keegoisan para pengurus klub. "Mereka hanya
korban," katanya.
Jelas
terlihat bahwa faktor kepentingan berada dibelakang ini semua. PSSI dan
pengurus klub yang berseberangan adalah dua institusi yang sama-sama
tidak bisa menyelesaikan pertauran secara bijak. Lagi-lagi pemain
menjadi korban sebuah kebijakan yang harusnya dapat mengakomodasi
kepentingan negara daripada mempertahankan egoisitas semata. (tempo)
Posting Komentar
Ketik komentar anda (No rasis, No Anarkis)